Kamis, 16 April 2009

cerpen

Ternyata ku Salah Menilai
Sempat terfikir untuk mengakhiri hidup ku saat cinta yang selama lima tahun aku pelihara dan ku jaga sepenuh jiwa kandas karena tak juga berlabuh di pelabuhan kebahagiaan. Cowok yang selama ini aku kagumi, aku sayangi dan aku cintai tak kunjung mengutarakan cintanya pada ku.
Lelah….itulah yang sekarang ini aku rasakan. Menunggu terus tanpa tahu ujung nya. Picaso adalah sosok cowok yang selalu menjadi landasan fikiran ku dalam mencipta sebuah puisi. Dia adalah orang yang tak pernah tergantikan posisinya di hati ku selama lima tahun belakangan ini. Jangan kan untuk berhubungan dengan cowok lain, untuk memikirkan cowok lain pun tidak pernah terlintas dalam benakku. Setiap kali aku mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, aku merasa telah melakukan perselingkuhan. Meski akal ku mengatakan bahwa ini bukan lah perngkhianatan karena aku bukan lah kekasih Picaso, tapi kalbu ku terus memupuk perasaan bersalah. Selalu begitu perasaan yang berkecamuk di dada ku.
Picaso tak kan pernah tahu betapa besarnya cinta ku pada dirinya. Aku tidak akan pernah mengutarakan perasaan terpendam itu, karena aku sadar bahwa aku adalah seorang wanita. Tabu untuk seorang wanita dari timur untuk mengutarakan perasaannya terlebih dahulu kepada lawan jenis nya.
Hingga langit runtuh pun aku bersumpah tidak akan mengakui perasaan ini sebelum Picaso terlebih dahulu mengakuinya. Perasaan ini akan terus terpendam di dasar hati ku yang terdalam walau akhirnya aku harus tersiksa dan terkubur dengan perasaan itu.
Belakangan harapan ku mulai pudar, tapi hati ku masih mencintai Picaso. Hanya secercah harapan yang mulai menyusut. Aku tidak akan lagi menitipkan harapan ku pada Picaso. Aku akan berjuang sendiri melawan hasrat ingin memiliki dia yang masih menggebu-gebu.
Andai cinta bisa memilih. Mungkin aku nggak akan memilih Picaso menjadi sandaran hati ku. Aku lelah berharap agar dia sudi merentangkan tangan nya untukku. Mungkin akan jauh lebih baik jika aku mencintai Dimas yang jelas-jelas sudah mengutarakan isi hatinya pada ku. Tapi, rasa cinta ku pada Picaso menghalangi ku untuk menjalin asmara dengan Dimas.
Orang yang pernah patah hati, tentu tidak akan mau mematahkan hati orang lain. Tapi, hal itu sama sekali tidak berlaku bagi ku. Meski hati ku sudah remuk karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, namun aku malah mematahkan hati dimas yang telah melabuhkan asanya pada ku. Entah siapa yang patut disalahkan atas perasaan yang mengganggu ku. Setiap kali aku mengarahkan tujuan ku pada Dimas, bayangan Picaso terus menghantui. Mungkin aku butuh sebuah jimat yang melindungi ku dari penampakkan Picaso. He...he...he...
" lagi senang ya? Senyum-senyum terus dari tadi" suara seseorang membuyarkan lamunan ku
"nggak kok" jawab ku sambil tersipu malu
" aku tahu alasan kamu menolak ku" tiba-tiba saja Dimas berkata demikian
Pembicaraan itu tentu saja tidak ku kehendaki untuk saat ini. Apalagi dengan suasana yang tenang, nyiur hijau melambai-lambai oleh tiupan angin pantai yang sejuk aku berharap bisa relax sejenak melepaskan kepenat-an hatiku.
" Dims….." sergah ku sebelum Dimas melanjutkan kata-kata nya
" kamu nggak mau ngomongin ini lagi? sudah berapa lama kita membutuhkan waktu untuk membicarakan hal ini? Sudah tiga tahun, Kinanti. Aku sudah cukup sabar untuk menunggu sampai kamu berkata jujur pada ku" keluh Dimas
" aku yakin kamu sudah tahu jawaban nya" jawab ku
" aku ingin mendengar langsung dari mulut mu" ucap Dimas
" aku menolak kamu karena aku mencintai orang lain" jawab ku ragu-ragu
" dan orang itu adalah Picaso, iya kan?" tanya Dimas dengan wajah memerah
" iya. Aku tahu apa yang aku lakukan ini adalah hal yang bodoh, nggak seharusnya aku mengharapkan Picaso. Dia nggak pernah ada untuk aku" jawab ku dengan butiran airmata di pipi
" aku lega kamu sudah berusaha jujur pada ku, terutama jujur pada dirimu sendiri. Mungkin aku terlambat menyadari betapa berartinya dirimu bagi ku, baru tiga tahun belakangan ini aku sadar bahwa kamu bernilai tinggi bagi ku. Andai hati ku lebih cepat mencintai mu sebelum kamu mengenal Picaso, mungkin kamu bisa mencintai aku" ucap Dimas pelan
" andai aku mampu mencintai mu sedikit saja, mungkin aku akan bersedia menjadi kekasih mu" ucap ku kelu
" Dimas, kamu mencintai orang yang salah. Aku sudah berulang kali menyatakan ini, tapi kamu nggak pernah menggubrisnya" tambah ku
" aku nggak mencintai orang yang salah, hanya saja waktu dan situasi yang tidak mendukung" Bantah Dimas
" aku nggak pantas buat kamu" jawab ku kemudian berlari menjauhi Dimas
Aku terus berlari tanpa sedikitpun airmata sempat terhenti mengalir. Dada ku semakin sesak karena beban perasaan yang semakin memuncak ditambah lagi saat ini aku sedang menangis. Tanpa sengaja, aku menabrak sesuatu yang ada di hadapan ku.
" maaf" sesal ku
" nggak apa-apa, lain kali kalau jalan mata harus lihat ke depan" jawab orang itu
" kamu Kinanti kan?" tanya orang yang ku tabrak tadi
" iya. Kamu.........Picaso?" ujar ku tidak percaya
" kamu ngapain disini, Kinanti? Kamu habis nangis ya?" tanya Picaso
" nggak kok, tadi kelilipan serangga" jawab ku berbohong
Jantung ku hampir copot melihat wajah cakep Picaso yang tiba-tiba nongol di hadapan ku. Dasar cinta….padahal sebelumnya aku sudah memutuskan untuk tidak lagi berharap pada Picaso, tapi saat dia berada di hadapan ku tiba-tiba harapan itu menyeruak lagi.
" kalau diperhatikan Picaso nggak cakep-cakep amat. Hidungnya nggak bangir, alisnya nggak tebal, kulitnya nggak putih, badannya nggak atletis, dia bukan pemain basket, dia nggak bisa main musik, dia nggak pintar merayu, tapi kenapa aku sampai klepek-klepek kalau di dekat dia ya?" gumam ku
" kamu sendirian?" tanya ku
" iya, lagi bete’ nih, habis putus" jawab Picaso
" apa??Putus sama Ayu?" tanya ku girang
" iya. Dia nggak asyik lagi, otoriter" jawab Picaso
" asik dong? Ups….." aku keceplosan

" Kinanti, kamu nggak apa-apa?" ternyata Dimas menyusul ku dari belakang
" nggak apa-apa kok" jawab ku
" kaki mu bengkak, pasti terkilir. Aku pijat ya" tawar Dimas
" nggak usah, Dimas. Aku nggak apa-apa kok" tolak ku
" kalian pacaran ya? Aduh jadi inget waktu aku dan Ayu masih pacaran dulu. Kita berdua juga sering ke pantai ini, Ayu bilang tempat ini indah" celoteh Picaso
" sama. Kinanti juga suka suasana disini" jawab Dimas
" tapi, aku dan Dimas nggak paca....."
" kami ke klinik dulu, Pic. Mau ngobatin kakinya Kinanti" pamit Dimas
Kesempatan berduaan bersama Picaso hilang begitu saja saat Dimas tiba-tiba muncul mendekati kami. Sebel juga sih, tapi mau marah nggak enak sama Dimas. Meski nyebelin, tapi tindakan Dimas itu bisa aku maklumi karena dia cemburu melihat ku bersama Picaso.
" kamu kenapa sih tadi? Sengaja ya merusak suasana?" tiba-tiba kalimat itu terlontar dari bibir ku
" idih, siapa yang mau merusak suasana?" bantah Dimas
" terus kenapa kamu nyamperin aku dan Picaso? Padahal aku masih mau berlama-lama ngobrol" ucap ku
" kalau boleh jujur, aku cemburu melihat kamu berduaan sama dia. Aku cuma mau menjaga perasaan ku." jawab Dimas
" lantas kamu fikir aku senang? Kamu nggak mikir kalau aku sakit hati? Aku berusaha mengerti perasaan kamu, tapi aku nggak bisa bohongin diri aku untuk nggak mencintai Picaso. Aku mau selalu ada di dekat Picaso, ngerti kamu?" maki ku
Setelah berucap demikian, aku kemudian meninggalkan Dimas di klinik. Tidak sekali pun aku menengok ke belakang.
" kok Dimas nggak nyusul aku ya? Biasanya kalau aku lagi ngambek dia pasti rajin bujuk aku" gumam ku
***
Ini hari ke sembilan setelah aku menghardik Dimas di klinik, sejak saat itu dia tidak pernah lagi datang ke rumah atau sekedar menjumpai ku di kampus. Dia benar-benar menghilang dari kehidupan ku. Mungkin dia marah dengan ucapan ku saat itu, hingga saat kami tanpa sengaja berpapasan di toilet dia langsung memalingkan muka nya. Biasanya dengan wajah riang Dimas menyapa ku dengan hangat. Lalu aku akan menjawab dengan ketus "baik".
" kenapa si Dimas? Biasanya dia negur loe dengan rayuan-rayuan mautnya?" tanya Bonny saat melihat Dimas memalingkan muka dari ku
" nggak tahu, kesurupan setan toilet kali" jawab ku sok cuek
" kalian putus ya?" tanya Bonny
" siapa yang jadian? Idih amit-amit deh" bantah ku
" jadi kalian nggak pernah jadian? Anak-anak fikir kalian itu pacaran loh. Habis kemana-mana selalu berdua" celoteh Bonny
" si Dimas aja tuh yang ngejar-ngejar gue. Kalau gue mah ogah deket-deket dia" caci ku
" ogah apa ogah? Gue perhatiin setiap loe di dekat Dimas, loe senang banget tuh. Senyum-senyum, katawa girang. Tapi giliran Dimas nyuekin elo, bawaannya manyun terus. Paling banter senyum sungging, itu juga kalau temen-temen pada ngegodain elo habis-habisan" ledek Bonny
" apaan sih? Nggak lucu tahu" omel ku
" nah itu maksud gue. Setiap ada yang ngajak loe ngobrol pasti bawaannnya bete’ mulu" ledek Bonny lagi
" ya nggak gitu juga kok" jawab ku
" gue maklum sih kalau loe bete’ lihat Dimas pacaran sama Ayu, tapi loe kan nggak punya hak musuhin dia. Toh kalian nggak pacaran.
" apa? Dimas jadian sama Ayu? Maksud lo Ayu mantannya Picaso?" tanya ku tidak percaya
" iya, memangnya loe nggak tahu?" Bonny balik bertanya
Darah ku berdesir sangat kencang. Amarah meletup-letup di dada ku. Aku sebel!!
" maksud kamu apa jadian sama Ayu? Kamu mau manas-manasin aku? Kamu mau buktiin bahwa kamu hebat bisa merebut Ayu dari Picaso?" omel ku
" ada apa sih? Santai dong, jangan marah-marah. Kita kan bisa ngomong baik-baik" ujar Dimas
" jadi, kamu bener-bener jadian sama Ayu?" tanya ku sedikit tenang
" kamu tahu darimana?" Dimas malah balik bertanya
" nggak penting. Kamu jawab aja dengan jujur" bentak ku
" iya" jawab Dimas
" Cuma iya? Setidaknya kamu jelaskan kenapa kamu mau jadian sama dia" omel ku
" memangnya harus ya? Mama ku aja nggak nuntut alasan macam-macam tuh" jawab Dimas setengah becanda
" tapi….Ayu itu mantan nya Picaso, Dims. Loe tahu kan gue musuhan sama dia, tapi loe malah jadian sama Ayu"
" itu bukan urusan gue. Loe bukan apa-apanya gue, jadi jangan ngatur-ngatur gue" jawab Dimas emosi
Baru kali ini aku melihat Dimas begitu marahnya pada ku. Senyum manis yang selalu ia suguhkan tiba-tiba berubah 180°. Dimas sepertinya tidak senang dengan ucapan ku yang cenderung mengatur masalah yang seharusnya bukan urusan ku. Tanpa fikir panjang lagi, aku segera meninggalkan Dimas yang terus menatap geram ke arah ku.
Tidak beberapa langkah meninggalkan Dimas, tiba-tiba saja sebuah benda keras menghantam tubuhku. Aku dapat merasakan untuk beberapa detik tubuhku melayang ke udara kemudian terhempas ke aspal. Pandangan ku menjadi buram. Setelah itu aku tidak dapat mengingat apa-apa lagi.
***
Kepala ku masih terasa pusing saat aku mencoba membuka mata. Seorang suster tampak memeriksa nadi dan denyut jantung ku. Kemudian dia tersenyum simpul ke arah ku
" alhamdulillah adek sudah bangun, bagaimana perasaanya subuh ini?" sapa suster itu
" baik suster, tapi masih kerasa pusing. Saya kenapa suster?" tanya ku
" kemarin lusa adek ketabrak sepeda motor di kampus, pacarnya adek yang ngantar ke rumah sakit. Sejak kemarin sampai sekarang dia nggak pernah keluar dari kamar ini. Boro-boro’ pulang, makanan yang kami sediakan saja nggak pernah disentuh" cerita suster itu
Sesosok tubuh tampak tertidur pulas sambil memegang tangan kanan ku. Aku tidak bisa melihat wajah orang yang telah menolong ku itu.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi saat aku membuka mata. Ternyata setelah siuman subuh tadi, aku ketiduran. Badan ku terasa pegal, mungkin karena kelamaan pingsan.
" Pagi...." sapa Picaso ketika aku membuka mata
" Pagi" jawab ku
Picaso datang menjenguk ku. Ternyata dia masih memperhatikan aku, sampai-sampai dia mau menjengukku di rumah sakit. Jangan-jangan Picaso orang yang telah menolong ku itu.
" iya…iya pasti Picaso" gumam ku
" ada apa? Senyum-senyum, lagi happy ya?" tanya nya
" nggak kok, siapa yang senyum-senyum? Aku lagi senam wajah" jawab ku berbohong
***
Sayang sekali hari ini aku diizinkan pulang dari rumah sakit. Jadi, nggak ada alasan lagi untuk meminta Picaso menjenguk ku setiap hari. Tapi, nggak apa-apa sih paling nggak aku sudah tahu kalau dia ternyata peduli sama aku. Buktinya selama delapan hari di rumah sakit, dia selalu menemani ku bahkan setiap malam selalu menemani ku.
" Terimakasih sudah bersedia merawatku selama ini" ujar ku pada Picaso
" nggak masalah. Cuma bantuan kecil" jawab Picaso
" ngomong-ngomong kalau malam di rumah sakit banyak nyamuk ya?" aku memulai obrolan
" masa sih? Kasihan dong Kinanti digigitin nyamuk" timpal Picaso
" kamu memangnya nggak digigit?" tanya ku heran
" kalau di rumah ku nggak ada nyamuk. Jadi setiap malam tidur ku nyenyak" jawab Picaso
" tapi, selama delapan hari ini kamu kan yang menjaga ku setiap malam? Aku sering terbangun setiap malam karena digigit nyamuk, dan setiap malam itu aku melihat kamu tidur di sofa kamar ku, iya kan?
" itu bukan aku, kamu pasti salah lihat. Oh iya, barang-barang nya sudah masuk semua kan? Kita pulang sekarang ya?" ujar Picaso
" kamu duluan ke mobil, aku mau pamit sama suster Fris dulu"

Di ruangan suster
" Suster Fris, aku pulang dulu" pamit ku
" iya, hati-hati ya" jawab Suster
" Suster, cowok yang membawa aku ke rumah sakit namanya siapa?" tanya ku
" kalau tidak salah namanya Dimas…iya namanya Dimas" jawab Suster Fris
" terimakasih...." kemudian aku segera menyusul Picaso
Di mobil.....
" Kinanti, bagaimana dengan jawaban mu? Apa kamu bersedia jadi kekasih ku?" tanya Picaso entah sudah berapa kali
" eh…apa? Aku nggak dengar" jawab ku
" kamu lagi mikirin apa?" tanya Picaso
" nggak…aku nggak mikirin apa-apa kok. Pic, kalau kamu nggak keberatan, aku bisa minta diantar ke rumah nya Dimas?" pinta ku
" ada urusan apa? Aku nggak suka kamu deket-deket Dimas. Dia itu....
" dia itu apa? Kamu fikir aku nggak tahu alasan kamu nge-deketin aku? Kamu mau balas dendam kan sama Dimas karena sudah merampas Ayu? Kamu deketin aku karena kamu tahu kalau Dimas suka sama aku, iya kan?" bentak ku
" iya. Aku nggak mau kamu mengacaukan siasat ku" jawab Picaso
" ternyata dugaan ku benar. Kamu nggak pernah suka sama aku" ujar ku
" iya, seharusnya kamu ngaca dulu. Siapa sih kamu? Kamu fikir kamu itu pantas jadi pacar aku?" maki Picaso
" kurang ajar. Berhenti disini, aku mau turun!" hardik ku
" dengan senang hati, aku nggak sudi ngantar kamu ke rumah gembel itu" maki Picaso
Tidak ku duga bahwa Picaso bisa berkata sekejam itu pada ku. Ternyata kebaikannya dulu hanya sebuah topeng untuk menutupi kebiadaban nya. Aku menyesal pernah mencintai orang seperti Picaso.
" Dimas......." sapa ku setelah tiba di depan rumah nya
" Kinanti…ngapain ke sini?" tanya Dimas dengan raut wajah yang cemas
" aku mau minta maaf, nggak seharusnya kita saling bermusuhan. Kita adalah sahabat, dan selamanya akan tetap jadi sahabat" ucap ku
" iya, aku sudah mengira itu adalah jawaban mu. Gimana hubungan kamu dan Pic?" tanya Dimas
" persahabatan kita nggak ada hubungannya dengan Picaso. Maaf, meskipun di hati ku nggak akan pernah ada nama Picaso lagi, tapi hati ku belum bisa menerima kamu" jawab ku
" maksudmu?" Dimas tampaknya tidak mengerti
" aku sudah mengubur semua kenangan bersama Picaso. Nggak akan ada lagi Picaso dalam hidupku" jelas ku
" oh……"
FINISH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar